Setiap kali bulan Ramadan berakhir dan gema takbir menggema di seluruh penjuru, ada rasa yang tak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata. Rasa haru, rasa syukur, dan rasa rindu yang bercampur menjadi satu. Lebaran bukan hanya tentang pakaian baru atau meja makan yang penuh, tapi tentang pulang—pulang ke rumah, ke pelukan keluarga, dan ke akar yang membuat kita tetap berdiri sampai hari ini.
Tahun ini, saya dan keluarga merayakan hari kemenangan di dua tempat: Bandung dan Cileuleuy. Hari pertama kami lewati di Bandung, tempat kami tinggal dan membangun kehidupan. Pagi itu, kami berangkat lebih awal untuk melaksanakan sholat Ied. Langit cerah, udara sejuk, dan jalanan dipenuhi oleh orang-orang yang berjalan kaki dengan pakaian terbaik mereka. Ada ketenangan dalam langkah-langkah itu—semacam kedamaian yang hanya muncul setahun sekali.
Sholat Ied berlangsung khidmat. Di akhir khutbah, imam mengingatkan bahwa Idulfitri adalah momen untuk membersihkan hati dan mempererat silaturahmi. Usai salat, kami saling bersalaman dengan tetangga, teman, dan orang-orang yang bahkan mungkin belum sempat kita sapa selama setahun. Hari itu, rumah kami ramai oleh saudara dan sahabat dekat. Suasana hangat, penuh tawa dan canda, menandai awal yang manis dari hari kemenangan.
Namun bagi saya, lebaran tidak hanya berkutat pada tradisi dan ritual ibadah. Di balik setiap momen itu tersimpan catatan pribadi yang mendalam—catatan tentang perjalanan hidup yang pernah saya jalani, bukan semata-mata artikel elektro atau artikel kalibrasi yang biasa saya bagikan. Tulisan ini adalah refleksi hati, sebuah jurnalisme personal tentang bagaimana momen lebaran selalu membawa saya kembali kepada akar dan kenangan masa kecil.
Perjalanan Menuju Desa dan Kuliner Kuningan
Di hari kedua lebaran, kami bersiap-siap menuju Kuningan, lebih tepatnya ke Desa Cileuleuy. Desa kecil ini selalu memberikan ketenangan yang sulit saya temukan di keramaian kota. Perjalanan dari Bandung ke Cileuleuy memakan waktu sekitar lima jam. Kami berangkat pagi hari agar dapat tiba sebelum sore. Meski jalanan cukup padat karena masih dalam masa libur panjang, pemandangan sepanjang perjalanan menyuguhkan keindahan alam yang menenangkan: hamparan sawah yang menghijau, hutan kecil yang meneduhkan, dan langit yang cerah dengan sesekali kabut tipis yang menyelimuti kaki gunung.
Setibanya di Kota Kuningan, sebelum melanjutkan ke desa, kami mengisi perut dengan mencicipi kuliner lokal. Tanpa ragu, kami sekeluarga makan Baso Idola—hidangan yang sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat Kuningan. Suasana makan yang hangat dan penuh keakraban membuat kami semakin bersemangat untuk melanjutkan perjalanan ke Desa Cileuleuy.
Setibanya di Cileuleuy, udara sejuk langsung menyambut kami. Desa ini mempertahankan asri dan tradisinya. Rumah-rumah dengan halaman luas, pohon rindang, dan suara alam yang alami seakan menyambut kami kembali ke pelukan kampung halaman. Tak lama setelah tiba, hujan mulai turun perlahan. Rintik-rintik halus membasahi tanah kering, membawa aroma petrichor yang khas dan menenangkan. Hujan di desa bukanlah penghalang, melainkan penguat suasana syahdu yang membuat momen semakin berkesan.
Keceriaan Hari Kedua: Berenang di Kolam Renang Alami
Selain berkumpul dengan keluarga, hari kedua lebaran juga kami manfaatkan untuk menciptakan kenangan baru bagi anak-anak. Kami mengajak mereka berenang di kolam renang alami yang terkenal di Kuningan. Airnya sangat dingin, langsung dari sumber mata air yang murni. Meskipun cuaca di luar sejuk karena hujan, semangat anak-anak tampak membara saat mereka bermain dan berenang di kolam tersebut. Tawa riang mereka, yang bercampur dengan rintik hujan, menambah keindahan hari itu dan membuat setiap detik terasa begitu hidup.
Hangatnya Silaturahmi
Rumah keluarga besar kami menjadi titik pertemuan yang selalu ditunggu setiap tahunnya. Paman, bibi, sepupu, dan keponakan datang dari berbagai penjuru. Segera, ruang tamu dan halaman dipenuhi dengan suara tawa, pelukan hangat, dan obrolan panjang yang seolah mengecilkan jarak waktu yang telah berlalu. Di meja makan, hidangan khas lebaran tersaji lengkap—ketupat buatan tangan, opor ayam kampung, sambal goreng ati, rendang, kerupuk udang, hingga tape ketan hijau khas Kuningan yang selalu jadi favorit.
Momen kebersamaan itu sangat berarti. Sambil menikmati hidangan, kami saling berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Anak-anak asyik bermain di halaman, mengejar cipratan air hujan sambil tertawa, sementara orang dewasa mengenang masa lalu dan berbincang tentang harapan di masa depan. Bagi saya, inilah inti dari lebaran: momen di mana kehadiran orang-orang tercinta mengisi ruang kosong di hati.
Rencana Piknik yang Tak Sesuai Harapan
Di hari ketiga lebaran, kami sekeluarga berencana mengisi hari dengan aktivitas luar ruangan, kali ini menjelajahi kawasan wisata di sekitar Cigugur yang dikenal dengan keindahan alamnya. Awalnya, tujuan kami adalah Palutungan, sebuah tempat wisata alam dengan udara segar dan pemandangan yang menakjubkan. Namun, sesampainya di sana, kami mendapati situasi yang berbeda dari harapan. Jalanan menuju lokasi tersendat karena kemacetan, area parkir penuh, dan ribuan pengunjung membuat suasana menjadi sangat padat.
Tidak putus asa, kami berusaha mencari destinasi lain. Hari ketiga lebaran baru kami mencoba menuju Arunika, tempat wisata kekinian yang terkenal dengan spot foto instagramable dan kafe estetiknya. Namun, sesampainya di Arunika, kami dikejutkan dengan informasi bahwa tempat tersebut telah ditutup karena kepadatan pengunjung yang luar biasa. Kecewa namun tak ingin menyerah, kami segera beralih ke destinasi berikutnya, yaitu Botanika. Tempat ini seharusnya menawarkan ketenangan dengan taman hijau yang luas. Di Botanika, fasilitas yang bisa dinikmati antara lain adalah sebuah kafe yang nyaman, perosotan pelangi yang menyajikan pemandangan indah Kota Kuningan dengan latar pegunungan, serta area duduk outdoor dan gazebo untuk bersantai. Meski begitu, hari itu pun Botanika tidak luput dari keramaian. Hujan turun kembali, membuat pengunjung berlindung di bawah payung dan atap kafe, sehingga situasinya sama padatnya.
Di tengah kehebohan dan keramaian, kami hanya bisa tertawa bersama. “Mungkin memang bukan waktu yang tepat untuk piknik,” ujar salah satu sepupu sambil tersenyum. Kami pun sepakat untuk pulang lebih awal dan menikmati sisa hari dengan cara yang lebih sederhana—kembali ke rumah nenek dan menghabiskan waktu bersama dalam kehangatan keluarga.
Makna Pulang yang Sesungguhnya
Setibanya di rumah nenek, kami kembali berkumpul di ruang tamu. Sambil menikmati gorengan hangat dan secangkir kopi, obrolan kembali mengalir dengan lelucon dan cerita masa kecil yang menghangatkan hati. Di luar, hujan turun dengan deras, seolah ikut menyambut kehangatan yang ada di dalam rumah. Di antara tawa dan canda, saya merenung bahwa lebaran kali ini adalah tentang menemukan kembali makna pulang.
Bagi saya, pulang bukan semata-mata kembali ke lokasi geografis, melainkan kembali kepada diri sendiri. Di balik setiap tradisi dan kebiasaan, terdapat pelajaran tentang kebersamaan, penerimaan, dan syukur. Artikel ini adalah catatan pribadi—sebuah refleksi tentang perjalanan hati yang jauh berbeda dari artikel elektro atau artikel kalibrasi yang sering saya bagikan. Di sini, saya ingin menyampaikan bahwa momen-momen sederhana, seperti duduk bersama keluarga di tengah hujan, memiliki nilai yang jauh lebih besar daripada gadget atau teknologi terbaru.
Cileuleuy, meskipun hanya sebuah desa kecil, selalu mengingatkan saya akan pentingnya akar dan identitas. Setiap kali saya melangkah di jalan desa yang basah oleh hujan, setiap tawa yang bergema di ruang tamu, dan setiap kenangan yang terukir di meja makan, semuanya adalah bagian dari cerita hidup yang tidak bisa diukur dengan angka atau statistik. Inilah yang membuat lebaran menjadi begitu istimewa—bukan karena gemerlapnya pesta atau kemewahan liburan, tetapi karena kehangatan yang mengalir dari hati ke hati.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa hidup adalah serangkaian perjalanan. Ada perjalanan yang penuh rintik hujan, ada pula perjalanan yang dipenuhi cahaya cerah. Di antara semuanya, yang terpenting adalah bagaimana kita menghargai setiap detiknya, bersama orang-orang yang kita cintai, dan merayakan setiap momen kecil yang membuat kita merasa hidup.